Isu Kebangkitan PKI Tak Segera Terselesaikan

 PKI, Bujur Sangkar Cerita, dan Labelisasi yang Menyejarah

Isu tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) muncul kembali. Ini bukan kali pertama terjadi. Medio 2012, isu ini juga muncul dan menyodok Nahdlatul Ulama sebagai kelompok yang ikut bertanggung jawab atas terbunuhnya orang-orang PKI dan yang dianggap simpatisan partai itu.

Peristiwa 1965 menghadirkan tiga sisi cerita sejarah: versi saya, versi Anda, dan versi mereka. Seharusnya ada sisi keempat, versi kita, yang berarti berisi kesepakatan semua pihak yang berada dalam pusaran sejarah kelam itu tentang bagaimana kisah tersebut diceritakan kepada anak-cucu. Namun mengharapkan sisi keempat ini hadir mungkin akan membuat kita seperti Godot dalam drama Samuel Beckett: menanti dalam ketidakpastian. Semua pihak membangun argumentasi dan rasionalisasi masing-masing. Perintah agar film G30S/PKI yang disutradarai Arifin C. Noer diputar kembali di lingkungan TNI adalah salah satu bukti bahwa pada akhirnya setiap pihak bersikukuh di posisi masing-masing.

Kisah tentang Peristiwa 1965 tak akan pernah menjadi bujur sangkar utuh yang sama panjang di setiap sisi, karena ada satu sisi yang absen dan berlubang, dan ini justru sisi yang terpenting: konsensus semua pihak.

Apa yang membuat sisi keempat dalam bujur sangkar Peristiwa 1965 sulit dihadirkan? Tentu saja akan ada banyak jawaban. Namun ada dua variabel penting yang mengemuka: kepentingan politik dan masih adanya dikotomi 'pelaku' dan 'korban'.

Variabel kepentingan politik sulit dikendalikan, karena ada banyak aktor yang terlibat dan berkepentingan dengan isu itu. Jangan membayangkan isu kebangkitan PKI hanya dimanfaatkan satu kelompok (ideologis maupun pragmatis) dengan kepentingan yang sama. Isu apapun di negeri ini bisa dilemparkan dan dikunyah siapapun. Semua tergantung pada kepiawaian memainkan isu itu untuk tujuan lebih besar. Apa yang tampak di permukaan tak selamanya menunjukkan apa yang di bawah permukaan.

Variabel kedua adalah labelisasi oposisi biner 'korban' dan 'pelaku'. Peristiwa 1965 sudah berlalu 52 tahun silam. Sebagian besar aktornya, untuk tidak mengatakan semuanya, sudah tak lagi panjang umur. Hari ini mereka yang membicarakan isu itu adalah generasi baru yang bahkan mungkin belum lahir saat peristiwa tersebut terjadi dan sebenarnya otomatis terbebas dari beban sejarah. Namun generasi baru tak selamanya bisa menggaransi hadirnya konsensus, karena masih adanya skenario penyelesaian persoalan dengan perspektif dikotomis 'korban' dan 'pelaku'.

'Korban' diposisikan lebih superior dalam narasi yang hendak dibangun untuk mengungkap Peristiwa 1965. Problem utamanya: siapa yang sesungguhnya menjadi korban dalam sebuah peristiwa politik masa lampau yang ruwet. Pada akhirnya, semua bisa berada pada posisi yang sama 'korban' sekaligus 'pelaku' yang ikut bertanggungjawab memicunya.

Saat isu PKI menyodok NU lima tahun silam, Rais Aam Pengurus Besar NU KH MA Sahal Mahfudh memerintahkan adanya klarifikasi, sehingga tidak membuat kaum nahdliyyin dan umat Islam merasa terpojok. Sejumlah ulama menemui PBNU pada 12 Oktober 2012 dan meminta agar segera menerbitkan buku sejarah menurut perspektif NU.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dari unsur NU KH Ahmad Syaichu sejak lama mengampanyekan pentingnya kaum Nahdliyyin membangun argumentasi sejarah sendiri, jika tak ingin tertelan dalam pertarungan narasi historis Peristiwa 1965. Dalam adu sikut narasi ini, umat Islam diposisikan dalam situasi yang tak menguntungkan: pelaku sekaligus boneka yang dimanfaatkan, yang semuanya berkonotoasi negatif.

"Kita wajib meneliti sejarah di dalam perjalanan NU sejak 1965 sampai 1968, di samping segi-segi positif yang benar ada beberapa hal yang negatif dan yang kurang benar. Ini perlu kita ubah dan perlu kita teliti, yang tidak benar itu bisa kita tertibkan," kata Syaichu.

Abdul Mun'im DZ, penulis buku putih 'Benturan NU-PKI 1948-1965', menyatakan: 'Kalau rekonsiliasi mensyaratkan adanya kebenaran dan keadilan, maka baru kali ini menyatakan kebenaran menurut pandangan NU'. Buku itu dengan gamblang bercerita, bahwa Peristiwa 1965 tidak bisa dipandang dalam perspektif peristiwa tunggal dan terputus dari rangkaian peristiwa pemicu sebelumnya, yang memosisikan umat Islam sebagai 'korban' dan PKI yang saat itu superior secara politik sebagai 'pelaku'.
Wakil Ketua Umum PBNU As'ad Said Ali dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan pada 1 Oktober 2012 menyebut PKI ikut bertanggung jawab 'menciptakan suasana yang sedemikian tegang, sehingga pada situasi 'to killed' or 'to be killed' (membunuh atau dibunuh), dalam sebuah perang saudara'.

Jadi, isu kebangkitan PKI akan selalu berulang ketika dua variabel pokok yang mengelilinginya tak segera diselesaikan. Kita sulit untuk mengendalikan variabel pertama. Namun tentu kita bisa berikhtiar untuk mengupayakan penyelesaian variabel kedua: menghilangkan dikotomi label 'korban' dan 'pelaku' dan membuatnya tak menyejarah, karena variabel ini tak akan pernah bisa membuat terang-benderang persoalan kecuali memperbesar luka yang tak sembuh-sembuh, sekaligus mereproduksi narasi kambing hitam dari generasi ke generasi. [beritajatim.com]