Topeng Gulur, Ritual Persembahan Kepada Sang Pencipta


Sebagai kekayaan budaya Madura, Topeng Gulur mempunyai keunikan tersendiri, beda dengan Topeng Dalang Madura yang dapat digelar dalam peristiwa manapun, dan dapat dinikmati secara terbuka oleh masyarakat. Namun untuk Topeng Gulur ini oleh masyarakat setempat digunakan sebagai peristiwa ritual dan diyakini sebagai bentuk persembahan kepada Sang Pencipta melalui penyatuan diri dengan bumi. 

Sebagaimana tradisi masyarakat umumnya, Topeng Gulur tumbuh dan berakar dari masyarakat setempat, yang hidup dan berkembang hanya di Desa Larangan Berma, Kecamatan Batuputih Kabupaten Sumenep, Madura. Namun demikian banyak masyarakat, khususnya di Pulau Madura, kurang banyak mengenali, karena memang Topeng Gulur tidak digelar disuatu arena pertunjukan sebagaimana yang dilakukan oleh Topeng Dalang, serta jenis seni tradisi lainnya di Madura.

Topeng Gulur digelar sebagai bentuk kegiatan ritual masyarakat, yang sampai saat ini masih dipercaya dan digelar  sebagai bentuk rasa syukur masyarakat kehadirat Yang Maha Kuasa, yang telah banyak memberikan nikmat, khususnya nikmat dalam bidang pertanian. Rasa syukur itu lantaran hasil tani yang melimpah, sehingga masyarakat merasa berkewajiban menumbuhkan ungkapan melalui simbol-simbol  dalam bentuk eksplorasi seni.

Kerap yang terjadi, peristiwa ritual yang menjadi tradisi sebagian masyarakat di Madura, bentuk eklorasi dilakukan pada musim kemarau dengan pengharapan datangnya hujan. Namun  pada ritual Topeng Gulur justru dilakukan pada saat mereka menikmati hasil bumi setelah musim hujan memberikan pertumbuhan terhadap garapan pertaniannya.

Dalam prosesi Topeng Gulur, pelaku diperankan oleh  tiga orang dengan mengenakan  topeng (tatopong) dengan nuansa  berkarakter keras dengan warna merah dan beikat kepala kain merah, berambut hitam panjang (yang terbuat dari rajutan benang), baju sejenis rompi berwarna hitam berasisoris manik-manik, berkalung bunga-bunga yang menggantung sampai perut, sabuk, serta kalung gungseng di kaki.

Bila Topeng Dalang dimainkan sejumlah orang dengan cerita-cerita lama, seperti Mahabarata dan lainnya. Namun pada Topeng Gulur, justru lebih ditonjolkan dan disimbolkan dalam bentuk gerak yaitu tari-tarian yang ritmis dinamis, serta terjadi beragam komposisi gerak seperti dalam gerak berdiri, jongkok, duduk dan gerak lainnya. Namun yang menjadi ciri dari topeng ini  salah satunya dengan  komposisi gerak yang menjadi ciri yaitu gulur (gerakan dengan menggulur-gulur di tanah).

Bergulur, merupakan tanda kedekatan manusia dengan Sang Khalik melalui tanah (bumi). Bumi sebagai tempat berpijak, bumi sebagai tempat dimana manusia menjadi hidup dalam mengarungi kehidupan dan dari bumilah manusia dapat melakukan apa saja termasuk didalamnya kebutuhan makan, minum dan lainnya. 

Dalam pergelaran ritual Topeng Gulur biasanya berlangsung di halaman rumah. Rumah-rumah di Madura, yang kemudian dikenal sebagai taneyan lanjeng (halaman rumah yang luas dan panjang) menjadi karakter nilai-nilai kekerabatan yang dekat, baik dalam bersaudaura maupun bertetangga. Karena itulah, setiap perhelatan-perhelatan yang melibatkan banyak tamu (sebut: warga), taneyan lanjeng sangat efektif menjadi area pergelaran.

Demikian pula pada pergelaran Topeng Gulur, karena mitos masyarakat setempat sangat mengikat  terhadap ritual ini, mereka selalu melibatkan diri dan secara serempak mereka benbondong-bondong ke arena Topeng Gulur yang telah  disipkan. Dengan membawa sebagian hasil tani mereka seperti jagung, ketela pohon, kacang-kacangan, padi atau apa saja dalam bentuk hasil tani yang mereka garap dan mereka miliki sebagai hasil tani.

Kemudian mereka meletakkan hasil tani tersebut berjejer secara melingkar, sehingga terkesan ditempat itu terdapat ragam hasil tani, dan diantara tumpukan hasil tani tersebut  dipancang sejumlah  colok (obor) yang nantinya akan mengelilingi perhelatan ritual. Maksud dari obor tersebut, merupakan symbol agar hasil tani yang dijejer selalu mendapat petunjuk dan penerangan dari Yang Maha Kuasa, sedang ragam hasil tani itu, menjadi simbol bahwa itulah yang selama ini mereka hasilkan.

Namun dalam perkembangannya pergelaran ritual Topeng Gulur mulai berubah, barangkali  generasi selanjutnya kurang apresiatif atau memiliki pemikiran yang lebih pragmatis dalam memahami peristiwa yang menjadi tradisi masyarakatnya. Hal ini dibuktikan ketika mereka (para peaku) memainkan Topeng Gulur, kostum yang dikenakan mulai disederhanakan.

Selama pergelaran berlangsung gerak tari Topeng Gulur diingi bunyi-bunyian, yaitu sekolompok music (tetabuhan) yang biasa dimainkan dalam musik saroren. Perbedaannya disini, dalam iringan musik Topeng Gulur, irama saronen (terompet/alat tiup) sedikit berbeda namun dalam  peralatan yang sama. Selebihnya bunyi-bunyian yang mengatur gerak tari, yaitu crek-crek (?) pukulan kecrek yang menandakan diksi pada gerak kaki, tangan, dan kepala para pemain (pelaku).* (Syaf Anton Wr)